Ho Rang
menerima telp Ji Ho kalau baru saja sampai dan meminta agar santai saja dalam
perjalanan, saat masuk cafe Soo Ji sudah duduk menunggu. Keduanya saling
menatap sinis dan duduk saling memberikan punggung. Ji Ho akhirnya datang melihat keduanya.
“Apa
Kalian tadi datang bersama?”kata Ji Ho.
“Apaan
ini? Kukira Cuma kita berdua saja yang ketemuan.” Ucap Ho Rang kesal melihat
Soo Ji
“Siapa
kau berani bilang begitu? Kau tak bilang ke aku, kalau dia datang.” Ucap Soo Ji
kesal
“Kalau
aku bilang, maka kau pasti tak datang. Tapi kenapa kalian duduk bersebelahan.”
Ejek Ji Ho
“Aku
malas saja lihat mukanya.”kata Ho Rang, Soo Jin mulai marah.
“Kalian
tahu sendiri, aku... ada yang ingin kukatakan ke kalian... Jadi begini..” kata
Ji Ho gugup lalu menuangkan minum untuk temanya lebih dulu. Keduanya ikut
merasakan gelisah apa yang akan dikatakan temanya dengan wajah serius.
“Begini...
Aku...” ucap Ji Ho terlihat gugup ingin memberitahu kalau akan menikah.
Sang Goo
memberitahu Setelah mengaplikasikan SEOm maka mereka membahas pemasukan dan bertanya apakah Ada
lagi yang mau ditambahkan. Se Hee melihat bagan dalam tabnya kalau harus
mengatakan pada orang yang dikenalnya, lalu mengangkat tangan.
“Sewaktu
makan malam tim terakhir itu..., berapa
dari kalian yang main taruhan soal keseksualitasku?” ucap Se Hee. Sang Goo
mencoba mengelak kalah mana main taruhan seperti itu seperti tak punya kerjaan.
“ Siapa
yang taruhan kalau aku homo?” kata Se Hee. Semua pegawai laki mengangkat
tangan.
“Lalu Yang
taruhan kalau aku normal?” kata Se Hee.
Bo Mi langsung mengangkat tangan. Se Hee bertanya siapa berpikir aseksual. Sang
Goo refleks mengangkat tangan dan langsung menurunkan tanganya.
“Selamat,
Bo Mi... Aku mau menikah.” Kata Se Hee. Semua melonggo kaget mendengarnya. Sang
Goo benar-benar tak percaya temanya yang akan menikah.
“Ayo Bayar
taruhannya. 50 ribu.” Kata Bo Mi seteleh Se Hee keluar dari ruangan.
Sang Goo
mengejar Se Hee dari ruangan untuk bicara bersama, dan berpikir kalau mungkin marah karena
mereka taruhan. Se Hee langsung bertanya apakah Sang Goo sudah bayar 50 ribu.
San Goo terlihat tak percaya apakah Se Hee itu memang mau menikah.
“Apa
Menikah sungguhan? Marriage? Wedding? Pemberkatan nikah?” kata Sang Goo. Se Hee
membenarkan.
“Apakan
dengan seorang wanita?” kata Sang Goo masih tak percaya. See Hee mengangguk.
“Hei..
Jangan buat aku tertawa! Mana bisa kau menikah? Seorang aseksual mana bisa menikah. Apa Pikirmu aku percaya? Pasti pernikahan pura-pura, 'kan? Kau boleh
saja bohongi orang, tapi aku tidak.” Ungkap Sang Goo yang sangat mengenal Se
Hee.
“Dia
cantik.... Sangat cantik” ungkap Se Hee lalu berjalan pergi. Sang Goo melonggo
kaget tapi akhirnya berteriak bahagia.
“Se Hee
memang jatuh cinta... Se Hee akhirnya jatuh cinta!” jerit Sang Goo bahagia.
Dua teman
Ji Ho kaget kalau temanya akan menikah, dengan pemilik rumah. Ji Ho tahu
temanya pasti sangat kaget, Soo Jin ingin tahu kapan mereka pacaran. Ji Ho mulai gugup mengaku cuma pacaran
kurang lebih sebulan atau 2 bulan.
“Jadi
maksudnya sejak kau pindah ke rumah itu, apa kalian pacaran?” kata Ho Rang. Ji
Ho pikir seperti itu.
“Apa Sejak
dari situ kalian pacaran? Tapi kenapa
kau tak cerita? Katamu, tak ada apa-apa
di antara kalian berdua. Benar, 'kan?” kata Ho Rang. Soo Jin juga merasa aneh
karena Ji Ho yang menyangkal.
“Itu
karena kami baru pacaran. Dan Aku merasa malu mau cerita-cerita pada kalian.”
Akui Ji Ho
“Tapi kalian
mau menikah secepat ini?” kata Soo Jin tak yakin. Ji Ho pikir Banyak orang
menikah dengan cepat.
“Itu 'kan
orang lain... Kau bukan kebanyakan orang. Kau itu Ji Ho.” Ucap Soo Jin sangat
mengenal temanya. Ji Ho ingin tahu memang kenapa dirinya.
“Kau itu
butuh berbulan-bulan buat dekat sama orang dan Aneh kau menikah secepat ini.”
Kata Soo Ji.
“Suatu
hubungan cinta tak selalu mengandalkan waktu mereka saling mengenal. Jadi...
Walaupun kami baru kenal..., kurasa dia orang yang kubutuhkan dalam hidupku...”
kata Ji Ho. Soo Ji mulai aneh saat Ji Ho mengatakan Butuh.
“Mungkin
kedengarannya aneh kalau kubilang aku butuh dia... padahal 'kan dia manusia... (benda
hidup)...Jadi maksudku...” kata Ji Ho gugup mendengarnya.
“Aku
paham... Kenapa kau menikah...” kata Ho Rang. Ji Ho panik takut kalau alasan
menikah sudah bisa ditebak oleh ibunya.
“Ji Ho,
kau...Kau jatuh cinta pada pandangan pertama, kan? Sewaktu pertama bertemu dia,
kau langsung jatuh cinta, 'kan? Kenapa?? Apa di film sama drama juga
banyak seperti itu. Seperti ada
percikan, 'kan?” ungkap Ho Rang penuh semangat.
Soo Ji
juga berpikiran yang sama dengan saling mengenggam tangan, melupakan
pertengkaran mereka.
“Yah,
terjadi begitu saja... Sewaktu aku bertemu dia,
mataku langsung bersinar.” Akui Ji Ho agar tak membuat temanya curiga.
“Makanya
kau mau menikah secepat ini.”kata Soo Ji memastikan. Ji Ho membenarkan.
“Kurasa
ini takdir.” Ungkap Ji Ho dengan penuh wajah sumringah menyakinkan.
Ji Ho
duduk di dalam bus mengingat saat mengatakan “Kurasa ini takdir.” Ia seperti
ingin muntah dan sudah gila mengatakan hal itu. Ia merasa aklau Setelah menulis
beberapa drama jadi makin mahir saja berakting.
Akhirnya
Ia turun dari bus, dan See Hee sudah menunggu di halte dengan dua tas besar.
Keduanya saling memberikan senyuman, Se Hee menunjukan jalan dan Ji Ho
mengikutinya dengan membawa sebuket bunga.
Keduanya
berjalan bersama, Ji Ho bertanya Se Hee apakah sudah memberitahu rekan
kerjanya. Se Hee menganguk kalau tadi
ada rapat jadi sekalian memberitahu mereka. Ji Ho ingin tahu apakah teman Se
Hee kelihatannya tak percaya
“Ternyata
tanggapannya tak terlalu berlebihan. Karena
aku tadi memanfaatkan sifat alami psikologi pria.” Kata Se Hee.
“Lalu
bagaimana dengan kau? Mereka 'kan sahabatmu dari kecil, kau pasti khawatir.” Ucap Se Hee
“Aku juga
sudah kasih tahu mereka.” Kata Ji Ho. Se Hee ingin tahu Ji Ho mengunakan trik apa.
“Aku
bilang ke mereka kalau ini tak... Maksudku.. Aku bilang ke mereka... kalau aku
beruntung. Aku pakai metode storytelling. Tak kusangka jadi penulis drama, ada
untungnya juga seperti ini.”ungkap Ji Ho. Se Hee pun menganguk mengerti.
Ji Ho sudah
ada di depan rumah dengan papan nama [Nam Hee Bong]. Se Hee mengatakan mereka
masuk dan memastikan kalau Ji Ho tak masalah. Ji Ho mengaku kalau akan berusaha
terbaik.
“Ibumu
pasti sudah menonton dramaku...,jadi kurasa takkan ada masalah. Adapun, ayahmu...”
ucpap Ji Ho terlihat gugup.
“Tak
perlu hiraukan dia.” Kata Se Hee dan keduanya pun masuk rumah.
Ji Ho
masuk rumah yang terlihat sangat rapi, ada beberapa foto ibu Se Hee dan juga
mesin jahit model lama. Ia sudah tahu Ibu dari Se Hee bernama Cho Myeong Ja.
“Dia
berasal dari Jongno, di Seoul, lahir tahun 1955. Dia ingin dianggap sebagai istri
baik dan ibu yang bijak. Dia adalah seorang ibu rumah tangga.” Gumam Ji Ho
sambil mengamati bagian dalam rumah.
“Apa Kau
sudah sampai?” ucap Nyonya Cho menyapa anaknya. Se Hee menanyakan kabar ibunya
lebih dulu.
“Dia
ingin masalah pernikahan anaknya cepat teratasi agar keluarganya bisa tenang. Dia
tipikal ibu yang selalu bertindak apa yang menurutnya aman.” Gumam Ji Ho
melihat wajah ibu Se Hee.
“Ini Ji
Ho yang kuceritakan.” Kata Se Hee. Ji Ho menyapa ibu mertuanya lebih dulu dan
Nyonya Cho membalasnya.
“Aku tak
yakin apa Ibu suka ini bunga untukmu” kata Ji Ho. Nyonya Cho terlihat senang
mendengarnya.
“Sekarang
Mana ada wanita yang benci bunga. Dan Baunya enak. Sudah lama aku tak dapat karangan bunga.” Ungkap Nyonya Cho
sendang.
“Aku
pakarnya menangani karakter orang
seperti dia. Dan Untunglah aku pernah bekerja cukup lama menulis drama harian.”
Gumam Ji Ho bahagia.
“Ayahmu
sedang liburan sama temannya. Tapi Dia sebentar lagi pulang dari bandara.” Ucap
Nyonya Cho menyuruh mereka duduk.
Ji Ho
melihat sekeliling lagi dengan banyak perghargaan milik ayah Se Hee yang
bernama Nam Hee Bong.
“Dia guru
kewarganegaraan selama 30 tahun, sebelum
akhirnya dia pensiunan tahun lalu, setelah melayani menjadi kepala sekolah”
Ji Ho
melihat papan slogan [Hormati gurumu, sayangi muridmu]. Ia pikir Ayah mertuanya
adalah karakter orang berpendidikan dan ia merasa sebagai pakarnya menangani
orang-orang seperti ini dan akan mudah seperti yang dibayangkan.
Tuan Nam
pulang langsung melempar jas dan mendorong koper begitu saja. Nyonya Cho pun
menyapa suaminya yang baru pulang. Ji Ho kaget melihat Tuan Nam benar-benar
terlihat sangat dingin dan membuatnya takut.
Mereka
pun makan bersama, Nyonya Cho mengaku
tak tahu kalau sebelumnya menganggap Ji Ho cuma penyewa dan menurutnya Pasangan
memang wajar saling berkunjung ke rumah masing-masing jadi tak akan salah paham
dan ingin meminta pendapat suaminya. Tapi Tuan Nam hanya diam saja, begitu juga
Se Hee.
“Terima
kasih sudah memahami kami. Aku waktu itu malu sekali.” Ucap Ji Ho
“Tak apa.
Bukankah lebih baik, si pria yang ambil tindakan dan menjelaskan duluan?
Laki-laki di keluargaku ini memang agak pemalu. Tapi itu bukan hal buruk dan Lagipula
pria seperti itu adalah pria yang akan melindungimu tanpa perlu basa-basi.”
Ucap Nyonya Oh mengingat sebutanya Tsundere.
Tuan Nam
dan Se Hee tetap tak bergeming, Ji Ho akhirnya bicara pada Nyonya Oh kalau
Keluarganya dari Propinsi Gyeongsang. Nyonya Cho terlihat senang ingin tahu
dimana tepatnya. JI Ho menjawab kalau kampung halamanya di Namhae.
“Omo.
Jarang orang Namhae bisa kuliah di Univ.
Nasional Seoul, bahkan Tinggal di Seoul saja, susah masuk situ. benar, 'kan?”
kata Nyonya Oh. Tuan Nam tetap diam
“Kenapa
kalian ingin menikah?” tanya Tuan Nam. Ji Ho terlihat gugup. Nyonya Cho pikir
tak ada alasan lagi.
“Anak
muda menikah karena mereka saling menyukai. Pertanyaan macam apa itu?” ucap
Nyonya Cho
“Kau itu
'kan lulusan universitas bagus. Kalau
kau penulis, kau pasti punya tekad akan karirmu. Lantas kenapa mendadak kau ingin menikah? Kau pun sampai berhenti dari
kerjaanmu.” Kata Tuan Nam. Ji Ho kebingungan menjawabnya.
“Cukup...
Ayah saja memaksa Ibu untuk menekanku. Tapi apa yang Ayah lakukan sekarang.” Kata Se Hee. Tuan Nam
menegaskah kalau tak bertanya pada anaknya.
“Ya,
jadi... Se Hee dan aku memang belum lama
saling mengenal, tapi...” kata Ji Ho disela oleh ibunya.
“Bukankah
belakangan ini, pasangan... memiliki panggilan sayangnya? Kau 'kan bukan 40
tahun, tapi 30 tahun. Kenapa kau memanggil pacarmu seperti itu?” ungkap Ibu Se
Hee.
“Apa ini
wawancara?” keluh Se Hee. Tuan Nam piir
berhak bertanya dan menyuruh Se Hee agar jangan berlebihan.
“Kenapa
Ayah bertanya kami ingin menikah?” ucap Se Hee dengan nada tinggi.
“Memangnya
seorang ayah tak boleh bertanya?” kata
Tuan Nam ikut marah.
Ji Ho
sempat kaget tapi akhirnya mulai memberanikan diri memanggil Se Hee “Oppa..”
dengan dua jarinya memberikan tanda cinta sambil mengatakan “Aku mencintainya.”,
Se Hee kaget melihat sikap Ji Ho. Ayah dan ibunya juga kaget karena ternyata Ji
Ho bisa memperlihatkan perasaan pada anaknya.
[Episode 5: Karena ini Janji
Pertamaku]
Se Hee
berada di kamar menerima pesan dari ibuny [Apa akhir pekanmu lancar sama Ji Ho? Ibu sangat terharu hari itu. Tak
Ibu sangka kalau kalian saling mencintai. Anakku , Ibu sayang kau.] Se Hee membaca pesan dari ibunya hanya bisa
mengeluh ibunya seperti sangat berlebihan.
Ji Ho
makan ramyun di meja makan melihat Se Hee keluar kamar bertanya apakah ingin
olahraga. Se Hee menganguk melhat Ji Ho yang cukup telat makannya. J Ho mengaku
kalau tadi kesiangan dan merasa pagak gelisah waktu bertemu orang tua Se Hee semalam.
“Ya, kau
pasti panik waktu itu.” Kata Se Hee. Ji Ho pun melakukan hal yang sama.
“Kalau
kau sepanik itu...,bagaimana bisa kau bilang seperti itu?” ucap Se Hee
mengingat Ji Ho dengan mudah mengatakan “Oppa... Aku mencintainya.”
“Bukannya
kalimat itu dari naskah? Karena pilihan
katamu yang berani itu, aku agak kaget.” Ucap Se Hee.
“Ya... Karena
kupikir ayahmu tipe orang yang blak-blakan.”ucap Ji Ho gugup. Se Hee mengaku
kalau itu agak tak terduga.
“Aku pun
heran, tapi itu malah berhasil.Dia biasanya bukan orang yang percaya kata-kata
seperti itu.”kata Se Hee
“Kalau
sepenglihatanku, ayahmu. menantikan kata-kata seperti itu dan ayahmu ingin
memastikan saja. Kurasa dia ingin mengetes apa aku orang yang tepat bagi
anaknya.” Kata Ji Ho
“Dalam
situasi seperti itu, tak ada yang
namanya blak-blakan dibanding berkata aku mencintaimu.” Kata Se Hee. Ji Ho
pikir benar kalau itu juga kata yang mudahcdiucapkan.
“Sekarang,
kita hanya perlu salingbertemu orang tua kita besok.” Kata Se Hee. Ji Ho
bertanya apakah setelah itu, prosesnya
selesai
“Ya,
kalau tak ada kendala.” Kata Se Hee. Ji Ho berharap akalu pasti tak ada. Se Hee
pun pamit untuk pergi olahraga dulu.
Ji Ho
mengirimkan pesan [Apa kalian pada sibuk? Haruskah kita makan malam bersama?]
Dua orang temanya sedang berbaring diatap teras, Ho Rang memuji kalau itu sangat cantiknya.
Soo Ji bertanya apa yang dilihat. Ho rang menjawab kalau itu Debu halusnya.
“Aku
seperti orang gila, kan?”kata Ho Rang. Soo Ji membenarkan.
“Apa Lebih
gila dari Ji Ho?” tanya Ho Rang. Soo Ji mengatakan tidak lalu membaca pesan
dari Ji Ho “Soo Ji, Apa Ho Rang tak apa?”
“Dia
bilang apa? Apa dia bertanya aku tak apa?” kata Ho Rang. Soo Ji membenarkan.
“Waktu
dia bilang begitu, apa aku kelihatan tak baik-baik saja? Apa terlalu terlihat
kalau aku iri?” kata Ho Rang. Soo Ji mengaku kalau itu cuma sedikit.
“Ji Ho,
waktu kau bertemu orang tuanya nanti, pakailah baju yang kubelikan. Oke?” tulis
Ho Rang
“Aku tahu ini kedengarannya
aneh..., tapi maaf aku harus menikah di
saat seperti ini.” Balas Ji Ho
Ho Rang
pikir sudah menduga, lalu membalas pesan Ji Ho “Jadi merasa tak enaknya sampai hari ini saja, kan?”. Ia heran karena
Ji Ho merasa tak enak padahal biukan
ingin menikah dengan suaminya menurutnya temanya itu sangat polos. Soo Ji tak
banyak berkomentar memilih untuk meminum bir saja.
“Hei, kau
juga belum pernah melihatnya, 'kan?” kata Ho Rang. Soo Ji bertanya siapa
maksudnya.
“Suaminya
Ji Ho. Kau juga tak tahu apa-apa, 'kan?”
ungkap Ho Rang. Soo Ji pikir mana tahu
ia seperti itu.
“Sebelum
mereka menikah, kita harus tahu semuanya tentang pria itu. Si polos Ji Ho itu
tak menikah sama penipu, 'kan?” kata Ho
Rang khawatir.
“Kalau
Won Seok pulang, kau tanya saja dia. Dia
pasti tahu banyak tentang calon suaminya Ji Ho.” Kata Soo Ji. Ho Rang terlihat
menghela nafas.
“Hei..
Apa Kalian masih bertengkar?” ucap Soo Ji tak percaya. Ho Rang memberitahu
kalau Won Seok sudah lima hari tak pulang.
“Apa Kau
tak bisa kembalikan sofanya?” tanya Soo Ji melihat sofa sudah ada diluar rumah.
Ho Rang mengatakan tak bisa.
Won Seok
terus saja minum dan sudah setengah mabuk, Sang Goo mengeluh Won Seok yang tak pulang karena Sudah tiga hari ini minum 23 botol soju, menurutnya Organ dalanya sepertinya
mau meledak. Won Seok mengatakan kalau bisa pulang kalau punya rumah dan
sekarang ia tak punya rumah.
“Pulang
saja ke rumah atap yang kau beli atas
namamu tapi pakai uang deposit pacarmu.”kata Sang Goo .
“Aku tak
mau pulang! Kali ini, aku benar-benar
dongkol. Apad dia Tahu tidak betapa susahnya aku beli sofa itu? Aku sampai
menjual keyboard wireless yang kusuka ke toko barang bekas.” Kata Won Seok.
“Apa
karena itu pacarmu jadi marah-marah?” ucap Sang Goo. Wan Seok pikir sudah
membelikan sofa yang dinginkan. Sang Goo berpikir menurutnya tak ada lagi
selain sofa.
“Tak
tahulah. Mana bisa aku tahan sama temperamennya itu?” ucap Won Seuk.
“Apa
mungkin selain sofa..., ada hal lain?” pikir Sang Goo.
Soo Ji
dan Ho Rang duduk disofa yang dibelikan Wan Seok. Ho Rang merasa tak percaya
kalau Won Seok akan membeli sofa itu, menurutnya sang pacar memang polos dan Lugu
sekali. Soo Ji pikir sofa yang dipilih Won Seok nyaman sekali.
“Dia
memang polos. Aku sampai berusaha keras buatnya dia agak nakal sedikit saat
masih jadi mahasiswa teknik selama 7 tahun. Tapi ternyata aku salah. Kurasa dia
tak bisa berubah.” Ucap Ho Rang kesal
“Kenapa
tidak kau langsung minta saja dia untuk
menikahimu?” ucap Soo Ji. Ho Rang mengumpat temanya sudah gila.
“Kenapa
memang? Orang yang ingin kebelet menikahlah
yang harusnya mengatakan itu lebih dulu” ucap Soo Ji. Ho Rang menolak,
“Aku tak
mau kelihatan seputus asa itu.” Kata Ho Rang.
Won Seok
mendengar tebakan Sang Goo tentang Lamaran menikah. Sang Goo pikir Hong Rang
yang ingin sofa, rumah lalu membicarakan
rekannya. Artinya ingin menikah seperti rekannya juga, di rumah besar dimana sofa itu bisa ditaruh. Won Seok
pikir itu tak mungkin.
“Apa
maksudmu? Bukannya kau sudah menjalin hubungan sama dia 7 tahun? Kalau sudah
selama itu, harusnya sudah mantap
menikah.” Kata Sang Goo yakin
“Hyungnim,
Ho Rang itu bukan wanita biasa. Apa kau tahu yang dia lakukan buatku saat aku
masih menyusun skripsi? Dia menjaga anjing dosenku waktu dosenku ini lagi
liburan. Dia pun membantu mengajari anak
si dosenku mengerjakan PR. Jadi dia pastinya tahu masalah apa yang kuhadapi
sekarang.”kata Won Seok merasa Sang Goo yang tak mengenal Ho Rang.
“My god.
Kita pasti kelupaan satu hal. Dia marah karena sofa itu sofa yang dipajang di toko... Pasti karena
itu.” Kata Sang Goo. Won Seok pikir benar juga.
“Hyung,
bagaimana bisa kau memikirkannya sampai
situ? Kita kelupaan satu hal itu.” Kata Won Seuk lalu menyuapi sup pada Sang
Goo karena meminum bir yang terasa pahit.
“Itu
pasti karena sofanya yang dipajang.” Ucap Won Seok yakin.
Ji Ho
menelp ibunya berpikir kalau sudah tertidur, kalau akan datang besok pagi,
karena Ada yang harus dikatakan mengenai pertemuan besok. Ayahnya tiba-tiba
berbicara ditelp, Ji Ho binggung bertanya dimana ibunya.
“Entah.
Tadi dia memberikan teleponnya ke Ayah. Apa Ada masalah?” kata Ayah Ji Ho. Ji
Ho menjelaskan pada ayahnya sambil
keluar dari kamar berpesan pada ayahnya agar Hati-hati di jalan.
Se Hee
baru pulang bertanya apakah Ji Ho baru berbiara dengan Ayahnya. Ji Ho
membenarkan kalau sudah memberitahu ayahnya mereka yang takkan ada upacara
pernikahan. Se Hee mengaku kalau ia juga sudah mengatakan hal yang sama pada
ayahnya.
“Kupikir
lebih cepat lebih baik memberitahu mereka, jadi tak ada acara spesial yang akan
terjadi besok. Apa tanggapan orang tuamu, baik-baik saja?” kata Se Hee. Ji Ho
mengangguk.
“Untungnya...,
tak ada yang dikatakan Ayah. Mungkin itu karena adikku belum menyelenggarakan upacara pernikahan juga.
Kurasa karena itu.” Kata Ji Ho. Se Hee bisa mengerti.
“Ibuku
juga tak banyak omong. Kurasa karena dia tahu biaya buat upacara pernikahan,
dia agak kaget.” Kata Se Hee. Ji Ho pun bersyukur bisa mendapatkanya.
“Kalau
begitu...,setelah pertemuan besok, tak ada lagi biaya, 'kan?”ucap Ji Ho. Se Hee
membenarkan.
“Jadi,
setelah besok, maka kita harus bicarakan soal kontrak terakhir.” Ucap Se Hee.
Ji Ho pun menganguk mengerti.
“Oh, ya.
Bagaimana tanggapan ibumu Setelah kupikir-pikir, saat kita bertemunya, dia tak
banyak omong dan memberikan pendapat.? ” tanya Se Hee.
“Ibuku...
Ibuku biasanya tak suka banyak omong. Sudah kubilang, keluarga kami itu
mengutamakan laki-laki. Kalau kupikir-pikir juga, ayahmu juga begitu. Bagaimana pendapat
ayahmu?” jelas Ji Ho kembali bertanya.
“Aku tak
tertarik.” Kata Se Hee. Ji Ho terlihat binggung.
Ji Ho
mengirimkan pesan pada ibunya “ Apa Jam 5 sore besok? Kalau begitu aku jemput ke terminal besok.”
Tapi ayahnya yang membalas mengerti. J Ho meminta meminta agar memakai pakaian
hangat, Karena Seoul lagi musim dingin. Ayahnya kembal menjawab kalau sudah
mengerti.
“Ibu,
jangan lupa minum obat.” Tulis Ji Ho. Tapi ibunya tak membalas apapun.
“Kenapa
Ibu tak bilang apapun? Telepon saja tadi diberikan pada Ayah.” Ucap Ji Ho binggung akhirnya bertanya
apakah ibunya sudah tidur.
Ibunya
membalas kalau sudah tidur. Ji Ho heran ibunya tidur tapi masih bisa membalas
pesan. Akhirnya ia berbaring di tempat tidur, berpikir kalau ibunya seperti
sedang marah padanya, tapi Ji Ho tak mau memikirkan memilik untuk tidur.
Makan
malam pertemuan keluarga pun terjadi. Keluarga Ji Ho dan juga keluarga Se Hee.
Tuan Yoon pikir Pernikahan adalah acara
penting dalam hidup jadi Hubungan sekarang spesial dan akan untuk
menuangkan minum untuk ayah besanya, Tuan Nam pun menerimanya.
“Bukankah
anak kita ini pintar-pintar? Aku agak sedih waktu dia bilang tak ada upacara
pernikahan. Tapi semua orang mengalami penurunan
belakangan ini. Kurasa mereka ini masuk akal.” Kata Tuan Yoon. Tuan Nam pun
setuju dengan pendapat tersebut dengan membalas minum untuk Tuan Yoon.
“Aku bisa
bayangkan dia pasti pintar sekali bisa
masuk ke Univ. Seoul, jauh-jauh dari
Namhae.” Kata Nyonya Cho
“Tidak
juga. Dia sama saja seperti yang lain.” Kata Ibu Ji Ho seperti tak ingin
membanggakan anaknya. Ji Ho terlihat kaget dengan ucapan ibunya.
“Dia juga
sangat sopan.” Puji Nyonya Cho. Ibu Ji Ho pikir Semua orang juga begitu.
“Tak
seperti anak muda belakangan ini...,dia sangat polos dan baik.” Kata Nyonya
Cho. Ibu Ji Ho pikir tak seperti itu.
“Dia sama
saja seperti yang lain. Dia tak dewasa sama seperti yang lain, di saat umurnya sudah segini. Bahkan
Dia juga agak egois jadi Sama saja. Dia tak ada bedanya dengan yang lain.” Kata
Ibu Ji Ho tak ingin membanggakan anaknya.
Nyonya
Cho sempat kaget tapi menyetujuinya saja. Tuan Yoon pikir istrinya tak perlu
berkata seperti itu lalu mencoba menuangkan minuman untuk Tuan Nam. Mereka
mencoba untuk akrab, Ji Ho melihat ibunya seperti menyimpan sesuatu yang tak
biasa.
Ji Ho
baru saja keluar dari toilet melihat Se Hee ada di depan meja kasir, lalu
bertanya apakah sudah membayarnya. Ji Ho mengangguk, karena yang dibaca di
blog, kalau sebaiknya bayar lebih dulu sebelum keluar dari tempat restoran.
“Apa kita
harus hitung-hitungan biayanya akhir bulan ini? Biar kita bisa bagi sama rata.”
Ucap Ji Ho
“Lagipula
hari ini hari terakhir kita bayar masing-masing Tapi untuk hari ini, aku saja yang bayar.” Kata Se Hee. Ji Ho menolak
karena makanan direstoran sangat mahal.
“Tapi
orang tuamu sudah jauh-jauh ke Seoul. Kita juga harus menghitung biaya mereka
datang dan usaha mereka.” Kata Se Hee. Ji Ho pun menganguk mengerti.
“Kita
hanya perlu mengenalkan keluarga masing-masing. Cuma melaksanakan beberapa
langkah dan semuanya beres. Menikah rupanya lebih mudah dari yang kukira. Sejujur, aku khawatir
karena kupikir keluargaku takkan menanggapinya dengan baik.” Akui Ji Ho berjalan
kembali ke ruangan mereka makan.
“Kalau
aku, sudah menduga akan semudah ini.” Kata Se Hee. Ji Ho tak percaya
mendengarnya.
“Ya.. Itu
Karena kita kombinasi dua orang yang hebat. Walaupun masih mengangsur, tapi aku
punya rumah. Walaupun kau tak punya pekerjaan,
tapi kau lulusan dari universitas bergengsi. Aku yakin hal seperti itu
turut andil dalam menentukan keputusan.” Kata Se Hee.
“Kalau
yang terakhir, aku setuju tapi apa maksudnya yang terakhir?” kata Ji Ho tak
mengerti.
“Mereka
ingin orang yang berpendidikan sebagai keluarga guru. Tapi mereka tak mau
menganggapnya cuma sebagai menantu. Secara tak sengaja, kau memenuhi syarat hipokritikal orang tuaku. Aku tak
menyangka kalau aku dari lulusan universitas bagus bisa memberikanku sinergi yang bagus.” Jelas Se Hee. Ji Ho pun
bisa bersyukur, dan berterimakasih.
Saat akan
masuk keduanya mendengar ibu Ji Ho mulai berbicara. Ibu Ji Ho merasa tak ada
yang salah dengan ucapanya. Tuan Yoon melihat istrinya seperti sedang mabuk.
Ibu Ji Ho meminum satu gelas arak mengakui kalau dirinya sedang agak mabuk.
“Jadi
karena aku mabuk, aku ingin mengatakan
apa yang ingin kukatakan. Kami tak mau menikahkan putri kami dengan cara
seperti ini.” Ucap Ibu Ji Ho. Ji Ho terlihat kaget ibunya yang biasa pendiam
bisa bicara.
“Aku
ingin mereka melakukan yang dilakukan
semua pasangan menikah. Aku ingin mereka menggelar upacara pernikahan.” Tegas
Ibu Ji Ho
“Mereka
sudah membicarakannya.” Kata Nyonya Cho yang setuju dengan pendapat dua
anaknya.
“Pendapat
kita sama. Mereka harus menggelar upacara pernikahan.” Kata Tuan Nam. Ji Ho dan
Se Hee hanya bisa terdiam didepan pintu,
bahkan Ji Ho tertunduk sedih memikirkanya.
Di rumah
Tuan Yoon
memarahi istrinya berpikir sudah tua dan juga sakit. Ibu Ji Ho sambil membuka
kaos kakinya mengaku kalau sebentar lagi
akan menopause. Tuan Yoon heran melihat
sikap istrinya tadi karena seperti ingin menghancurkan pernikahan anak mereka.
“Apaan
yang kuhancurkan? Mereka kelihatan congkak dari cara bicaranya.” Ucap Ibu Ji
Ho.
“Memang apa
yang mereka bicarakan? Mereka itu orang baik.” Kata Ayah Ji Ho
“Mereka
bilang, mereka tak suka kebanyakan kaum
muda lainnya. Mereka bilang putri kita baik dan lugu.” Kata Ibu Ji Ho. Tuan
Yoon pikir itu adalah pujian.
“Mereka bilang
lebih baik dia di rumah, membesarkan
anak karena kalau anak dan menantu kita bekerja, nanti malah menambah kesulitan.”
Kata Ibu Ji Ho. Tuan Yoon pikir itu benar
“Lalu
selain itu, bagaimana bisa mereka pikir anak ini mirip aku?” kata Ibu Ji Hoo.
JI Sook pikir Ibu dan kakaknya memang
mirip. Ibu Ji Ho memilih untuk masuk ke kamar dengan tatapan sinis.
Bersambung
ke Part 2
PS; yang udah baca
blog / tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09 &
Twitter @dyahdeedee09 jadi biar makin
semangat nulisnya. Kamsahamnida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar