PS; yang udah baca blog / tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09 & Twitter @dyahdeedee09 jadi biar makin semangat nulisnya. Kamsahamnida.

Rabu, 29 November 2017

Sinopsis Because This My First Life Episode 16 Part 2

PS : All images credit and content copyright : TVN
Ji Ho masuk kamar melihat Se Hee sedang tertidur, lalu melihat Woori dan menanyakan kabarnya dan bertanya Bagaimana bisa sampai dirumah atap, berpikir kalau kakaknya Se Hee yang  membawanya naik taksi. Ji Ho menatap Se Hee yang tertidur memeluk bantal siput akhirnya ikut berbaring.
“Ji Ho... Aku tadi lihat tasmu... Dan sekarang, kau ada dalam mimpiku.” Ucap Se Hee membuka matanya melihat Ji Ho yang ada didepanya.
“Kau pasti sangat merindukanku, Sampai aku muncul di mimpimu.” Komentar Ji Ho.
“Dan sekarang, kau bicara. Apa Liburanmu ke Mongolia, menyenangkan?” ucap Se Hee. Ji Ho binggung Se Hee membahas Mongolia.
“Ya, Mongolia... Apa kau senang meninggalkanku? Karena tak ada aku..., Apa kau senang-senang?” ucap Se Hee. Ji Ho mengaku Tidak.
“Sama sekali tidak menyenangkan.. Aku sangat merindukanmu... Setiap hari, aku merindukanmu..”ungkap Ji Ho
“Jangan membuatku tertawa.”komentar Se Hee seperti tak percaya
“Aku mencintaimu..Aku mencintaimu... Sangat.” Ungkap Ji Ho. Se Hee seperti tak percaya
“Dasar kau...jahat... Aku tahu kau tidak akan berada di sisiku. Karena saat aku terbangun nanti,  maka kau pasti tak ada. Jadi kenapa kau bilang mencintaiku? Kau jahat, Ji Ho” ucap Se Hee sambil menangis kembali menutup matanya.
“Maafkan aku... Aku sekarang tidak akan  kemana-mana lagi.” Kata Ji Ho meraba kepala Se Hee.
“Kenapa mimpi ini begitu menyedihkan? Walau begitu..., aku senang. Melihatmu seperti ini pun, aku senang. Meskipun dalam mimpiku, tapi aku senang.” Ungkap Se Hee dengan air mata mengalir. 


Se Hee terbangun dari tidurnya, lalu meminum botol air minum diatas meja dan tiba-tiba terdiam berpikir kalau Ji Ho memang datang. Tapi ia berpikir kalau Woori  yang membuat teh yuzu tapi akhirnya berpikir menderita demensia alkohol.
“Apa Kau sudah bangun?” ucap Ji Ho yang sedang menjemur selimut melihat Se Hee keluar sudah minum bir.
 “Apa Kau baru bangun, langsung minum-minum? Apa Perutmu baik-baik saja?” kata Ji Ho. Se Hee masih melonggo kaget karena tenyata Ji Ho memang datang. Ji Ho dengan santai mengajak Se Hee sarapan dan menyuruhnya mandi karena baru. Se Hee masih binggung dan mencium bajunya.

Ji Ho makan dengan lahap kepiting dengan tangan. Se Hee hanya menatapnya mengeluh dengan sikap Ji Ho alau Sekarang bisa makan kepiting pedas itu. Ji Ho binggung memangnya kenapa, berpikir kalau sarapan pakai kepiting.
“Bukan itu maksudku.” Ucap Se Hee. Ji Ho binggung ingin tahu Kenapa tidak boleh makan kepiting pedas
“Kita ini sudah bercerai... Kita... Aku tidak bisa memahami situasi ini. Kita menikah dan kau menghilang  karena pergi ke Mongolia. Tapi kau muncul tiba-tiba seperti ini. Sekarang, kau makan kepiting pedas di depanku. Aku tidak bisa memahami situasi ini.” Kata Se Hee dengan wajah datar.
“Jadi apa kau mau...aku pergi sekarang? Baiklah... Aku pergi sekarang.” Kata Ji Ho membersihkan tanganya dan akan keluar dari rumah. 


Se Hee menahan tangan Ji Ho mengatakan bukan seperti itu maksudnya, tapi ingin tahu kemana saja mantan istrinya itu. Ji Ho menjawab kalau ada i Insa-dong. Se Hee kaget kalau Ji Ho itu ada di Insa-dong lalu mencoba menahan amarahnya dengan berjalan ke arah lain.
“Apa Kau marah?” ucap Ji Ho. Se Hee menyangkal. Ji Ho bertanya apakah Se Hee memang tidak marah. Se Hee menganguk.
“Tapi sepertinya kau marah “ ejek Ji Ho. Se He menegaskan tak marah tapi akhirnya tak bisa menahannya.
“Kau bilang Insa-dong?!! Kalau kau di Insa-dong, kenapa tega sekali kau tidak pernah meneleponku?!! Kau sedekat itu, jadi betapa teganya kau tak pernah mengunjungiku? Apa Kau sadar betapa aku merindukanmu? Apa kau sadar betapa  berat itu bagiku?” ucap Se Hee meluapkan semua emosinya. Ji Ho tersenyum melihat Se Hee yang marah.
“Apa Kau tersenyum sekarang? Kenapa kau tersenyum? Kau membuatku jadi gila. Kau sampai membuatku menjual apartemenku dan Bisa-bisanya kau tersenyum sekarang?” ucap Se Hee marah
“Se Hee.. kau pasti sedang kesal sekarang. Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini. Kau bilang "Apa kau sadar betapa aku merindukanmu?" "Apa kau sadar betapa berat itu bagiku?" Padahal sebelumnya kau, tidak pernah menceritakan perasaanmu.”ungkap Ji Ho senang bisa melihat semua perasaan Se Hee.
“Terima kasih sudah membuka Kamar 19-mu... Maafkan aku... karena aku meninggalkanmu  di saat-saat terberatmu. Apa Kau mau kupeluk?” ucap Ji Ho membentangkan tanganya.
Se Hee yang kesal memilih untuk tak peduli dan langsung duduk di atas tempat tidur. Ji Ho mendekat agar mereka bisa berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Se Hee menolak, tapi Ji Ho tetap mendekat ingin memeluknya. Se Hee mendorong Ji Ho sampai akhirnya keduanya saling menatap diatas tempat tidur.
“Apa kau tidak perlu makan sarapan lagi?” tanya Se Hee. Ji Ho mengatakan  tak perlu makan lagi. Keduanya pun berciuman dan terlihat dibagian jemuran ada dua buah baju tidur yang dicuci. 



Won Seok melihat tablet dengan grafik  dan hasil Tingkat Kecocokan 91,666%, tapi wajahnya terlihat bimbang.
Flash Back
Bo Mi memberitah  tingkat kecocokan mereka dan sudah menganalisisnya. Ia pikir Secara teoritis, sangat sulit dapat tingkat setinggi itu. Jadi ia akan menunggu jawabannya.
Won Seok binggung karena dengan hasil itu pasti sudah pasti sangat cocok dengan Bo Mi yang lebih dulu mengajaknya berkencan. 

Won Seok datang menemui Bo Mi didepan gedung, Bo Mi bertanya apakah Won Seok sudah buat keputusan. Won Seok menganguk, lalu dengan bahasanya menganggap Bo Mi sudah seperti Mac OS yaitu terbaru, menarik dan intuitif jadi merasa nyaman di dekatnya.
“Tapi...Meski hal-hal bisa sedikit rumit dan sulit..., maka aku masih merindukan Windows. Secara rasional, Mac OS sangat ideal bagi ku. Tapi pikiran dan ragaku. masih ingat seperti apa Windows itu. Jadi Maaf, Bo Mi.” Ucap Won Seok
“Ya, aku mengerti... Itulah penolakan paling romantis yang  pernah kudapatkan dalam hidupku.” Ungkap Bo Mi. Won Seok tak percaya mendengarnya.
“Aku ucapkan Terima kasih... Tapi, sampai kapan kau akan terjebak dalam  OS kuno itu? Bukankah kau perlu memperbarui Windows-mu? Akuntan itu bilang, dia akan melamarnya besok... Jadi kau sebaiknya harus memperbarui dirimu sebelum diformat.” Kata Bo Mi
Won Seok binggung kalau Bo Mi sudah tahu sebelumnya. Bo Mi memilih untuk pergi meninggalkanya. 




Se Hee tidur dengan alas lengan Ji Ho  dan memeluknya. Ji Ho membangunkan Ji Ho kalau harus makan malam. Se Hee dengan mata tertutup meminta agar tidur lebih lama karena selama ini kurang tidur dan makin mendekap Ji Ho untuk tidur lebih nyenyak.
“Kau bisa tidur lagi setelah makan malam.” Ucap Ji Ho
“Apa Kau mau kubuatkan  nasi omelet?” kata Se Hee membuka matanya dengan penuh semangat.
“Kita pesan ayam goreng saja.” Kata Ji Ho dengan wajah cemberut. 

Ji Ho dan Se Hee akhirnya makan bersama di teras,  dengan pemandangan yang indah. Se He mengetahui Ji Ho yang tidak menandatangani kontraknya karena Jung Min memberitahunya. Ji Ho membenarkan. Se Hee pikir karena dirinya membuatnya tak enak hati maka Ji Ho harus merelakan pekerjaan itu.
“Kenapa semua orang mengira, kalau aku mengorbankan hal lain demi mendapatkan hal lain? CEO Ko juga berpikir begitu.” Ucap Ji Ho heran.
“Aku tidak mudah menyerah begitu saja. Karena aku ini generasi anak malang yang lahir tahun 1988. Kesempatan itu sangat berharga dan sulit didapat. Jadi aku mana bisa mudah mengorbankannya. Tapi di antara kesempatan itu, ada cinta salah satunya.” Ucap Ji Ho
“CEO Ko Jung Min dan ayahmu membantuku menyadari apa yang seharusnya dipertahankan. Aku tidak boleh mengorbankan cinta. Jadi Aku bukannya mengorbankan apapun dan Cintalah yang kupilih. Jatuh cinta bukanlah sesuatu yang bisa mudah didapat dalam hidup ini, Itu Sulit sekali mendapatkannya” jelas Se Hee.
“Jadi jika pernikahan kita hanyalah suatu sistem  yang menyakiti cinta kita, kurasa aku tidak ingin menikah denganmu bahkan kelak nanti. Jadi Bagaimana menurutmu, Se Hee ?” ucap Ji Ho
“Aku tidak pernah ingin menjauh darimu, Ji Ho.. Dan juga... aku ingin menjadi wali sah-mu agar aku selalu bisa berada di sampingmu apapun yang terjadi. Namun. aku sangat sepaham,  pernikahan bisa mengubah jalan cinta kita. Aku tidak ingin perasaan kita terluka karena tradisi keluarga  yang tidak penting. dan aturan dari orang tua kita.” Kata Se Hee.
Se Hee pun mengajak mereka berdua mencari tahu bagaimana bisa  bersama menghadapi kedua orang tua mereka. Ji Ho setuju lalu bersulang  bersama. Senyuman dari keduanya terlihat, Ji Ho lalu bertanya apakah Se Hee bertemu dengan Jung Min sendirian, Kapan, Dimana dengan nada cemburu.
“Jadi begini... CEO Ko meneleponku duluan.” Ucap Se Hee. Ji Ho makin marah mendengarnya. Se Hee berusaha untuk tetap santai walaupun terlihat gugup.
“CEO itu aneh sekali.. Kenapa dia menelepon kekasih orang?” kata Ji Ho. Se Hee pikir kalau ia perlu menganti nomor telpnya.  Ji Ho pikir tak perlu. Se Hee mengalihkan pembicaran mengajak mereka mulai makan karena Ayamnya mulai dingin.
Ji Ho menelp Ho Rang bertanya kenapa harus pergi ke Kantor daerah. Ho Rang pikir sebaiknya membuang sofa itu, karena pemilik gedung meneleponnya. Ji Ho merasa itu benar karena melihat  Sofanya jadi berjamur dan Ada goresan juga.
“Nanti akan kulaporkan itu sebagai sampah  dan mengambilnya  hari ini.” Kata Ho Rang. Ji Ho mengertil lalu menutup telpnya.
Ji Ho membaca pesan dari Jung Min “Aku sudah dengar dari pengacaranya. Selamat atas langkah pertama yang sukses dan perusahaan produksi lain akan segera menghubungimu. Aku mempromosikan tulisanmu  yang menyuarakan hati penggemar. Kuharap kau menulis apa keinginanmu.”
Senyuman Ji Ho terlihat lalu mencari nama [Kekasihku] di ponselnya. 

Se Hee masuk kantor menyapa Sang Goo yang ada diluar ruangan. Sang Goo menyapa dengan santai lalu tersadar kalau Se Hee yang akhirnya bekerja setelah sekian lama. Se He terlihat penuh semangat masuk kantor. Sang Goo pikir kalau Se Hee akan berhenti, jadi membersihkan mejanya tapi ternyata kembali bekerja sendiri.
“Aku rindu lelucon-lelucon payahmu itu.” Ucap Sang Goo lalu melihat ponselnya yang berdering tertulis nama [Kepunyaanku]
“Apakah itu tertulis "Kepunyaanku"? Ponselmu pasti tertukar sama punya orang lain.” Pikir Sang Goo. Tapi Se Hee mengangkat telpnya dengan santai, Bo Mi dkk dibuat binggung dengan sikap Se Hee tak seperti biasanya.
Ji Ho bertanya apakah Se Hee sudah sampai kantor. Se Hee mengaku sudah. Ji Ho bertanya Apa hari ini  pulang telat, karenaHo Rang akan datang membuang sofa tapi mereke berdua  tidak bisa menggotongnya.
“Biarkan saja. Nanti aku yang urus itu.” Ucap Se Hee lalu seperti mengungkapkan kalau mencintai Ji Ho juga dan memberikan kecupan juga sebelum menutup telp  
Semua melonggo binggung, Bo Mi dan Sang Goo tak percaya kalau Se Hee bisa berubah 180 derajat. Se Hee berpikir tak ada yang salah bertanya apakah Sang Goo mencabut kabel komputernya. 


Tuan Shin memperlihatkan tabletnya kalau akan mempersiapkan beberapa hal dan membeli apartemen pada  tahun keempat pernikahan, jadi Pernikahan itu sebenarnya proyek terbesar dalam hidup. Menurutnya  agar tidak gagal mereka harus mempersiapkan semuanya perlahan.
“Young Hyo..  Aku minta maaf... Aku tak bisa menerima perasaanmu. Aku hari ini sebenarnya ingin memberitahumu soal ini.” Ucap Ho Rang. Tuan Shin pikir sudah menduganya.
“Maafkan aku.” Ucap Ho Rang. Tuan Shin ingin tahu alasanya Ho Rang menolaknya.
“Aku ingin tahu Alasan yang jujur... Dengan begitu, kurasa aku bisa melupakannya.” Kata Tuan Shin. Ho Rang mengeluarkan cincin diatas meja.
“Ini adalah cincin pemberian mantan pacarku  saat dia melamarku. Aku menyimpan cincin ini di sakuku  setiap hari. Aku juga sudah berusaha keras untuk membuka hatiku padamu. Tapi... aku menyadari hatiku tak bisa berubah meski sekeras apa usahaku dan Itu terjadi begitu saja.” Ungkap Ho Rang.
“Itu Sungguh perkataan yang bagus... Aku juga mengakuinya.” Kata Tuan Shin. Ho Rang tak percaya kala Tuan Shin yang menyetujuinya. Tuan Shin langsung Setuju.


Won Seok gugup melihat nama [Ho Rang] di ponselnya tapi binggung untuk menelpnya lebih dulu. Se Hee masuk pantry melihat Won Seok menyapanya karena sudah lama tak bertemu.  Won Seok pun mengaku senang akhirnya Se Hee datang ke kantor juga lalu bertanya Bagaimana tinggal di kamar itu. Se Hee dengan senyuman mengatakan kalau sangat nyaman.
“Tak kusangka rumah atap itu bisa jadi tempat tinggal ideal.” Ucap Se Hee. Won Seok pikir itu bagus.
“Se Hee... Ho Rang tidak datang, 'kan?” ucap Won Seok. Se Hee bingung karena Won Seok bisa mengetahuinya.
“Dia hari ini mau mampir... dia bilang akan  mampir ke kantor  daerah, mengumpulkan laporan dan datang mengangkut sisa barangnya.” Ucap Se Hee.
“Kau bilang Mampir ke kantor daerah?!! Mengumpulkan laporan apa? Apa surat pendaftaran pernikahan?” ucap Won Seok mulai panik. Se Hee pikir itu mungkin saja.
“Seorang wanita berusia awal 30-an mungkin punya urusan itu yang harus dikumpulkan ke kantor daerah... Maksudku, pendaftaran pernikahan. Aku lihat sebelumnya,  Ho Rang bersama pria itu di kafe terdekat.” Ucap Se Hee. Won Seok langsung mengambil jaket dan meminta izin untuk pulang cepat. Se Hee pun mempersilahkan. 


Won Seok berlari keluar gedung, tapi melihat Ho Rang sudah menaiki mobil. Ho Rang turun dari mobil dengan senyuman mengucapkan Terima kasih, meminta agar selalu sehat dan yakin kalau Tuan Shin  pasti akan bertemu wanita yang baik.
“Ya. Semoga kau juga berhasil harus menikahi orang yang kau cintai.” Ucap Tuan Shin. Ho Rang menganguk mengerti. Seperti keduanya memutuskan dengan cara yang baik.
Ho Rang menuliskan surat di atas meja, tiba-tiba Won Seok datang menarik tanganya. Ho Rang binggung melihat Won Seok yang datang. Won Seok dengan nafas terengah-engah mengaku tidak bisa. Ho Rang binggung apa maksudnya.
“Aku tidak bisa menyerah dan Takkan... “ ucap Won Seok 

“Ini Lagipula tidak ada gunanya dan sudah terlalu lama. Ada goresan di sana-sini,  jadi tidak bisa diperbaiki.” Kata Ho Rang yang membahas tentang sofa.
“Tidak, karena sudah lama.. Karena ada goresan itulah maka kita harus lebih menghargainya.” Kata Won Seok berpikir Ho Rang akan mendaftkan pernikahan. Ho Rang melongo bingung.
“Ho Rang, aku salah...  Aku berjanji nanti ke depannya akan berusaha lebih keras. Aku juga akan membuat semuanya seperti semula lagi.” Ucap Won Seok sambil menangis.
Ho Rang makin binggung melihat Won Seok yang menangis. Won Seok pun memohon agar Ho Rang memberi satu kesempatan lagi. Ho Rang langsung menyetujuinya dan menyuruh agar mengambilnya kalau sangat menginginkannya. Won Seok binggung membaca surat Laporan Pembuangan bukan pendaftaran penikahan. 

Won Seok duduk dengan wajah tertunduk malu, mengaku tidak tahu ini soal sofa. Ho Rang juga heran karena Won Seok yang berpikir kalau ia akan menerima cincin dari orang lain, menurutnya mana mungkin  menerima cincin yang berbeda dan menyingkirkan cincin pemberian dari Won Seok.
“Dalam hidup ini, cincin ini sudah cukup... Jadi Won Seok..., maukah kau... menikah denganku?” ucap Ji Ho duduk di samping Won Seok.
“Padahal aku mau bilang itu duluan.” Keluh Won Seok lalu mengejek Ji Ho yang menangis karena nanti makeup-nya bisa luntur.
“Kau yang jangan menangis.” Ejek Ho Rang, keduanya pun sama-sama menangis haru karena akhirnya kembali bersama.
“Dimana kita harus tinggal  saat menikah nanti? Mungkin kita seharusnya tidak pindah dari rumah atap” kata Won Seok.
“Kita tidak butuh itu. Kita bisa tinggal sama orangtuamu.” Kata Ho Rang.
“Menurutku itu bukan ide bagus. Aku tidak ingin orang tuaku menyuruh-nyuruhmu.  Aku tak suka melihatnya.” Ucap Won Seok menolaknya.
“Hei.. Sadarlah! Kita harus bersyukur, mereka melahirkan kita. Aku sudah bicara sama ibumu. Jadi jangan beraninya kau macam-macam.” Tegas Ho Rang
Won Seok kaget kalau Ho Rang sudah berbicara dengan ibunya,  Ho Rang pun dengan semangat mulai bahas rencana mereka  sekarang, dengan memperlihatkan tabel Rencana pernikahan lima tahun kedepan. Won Seok terlihat bahagia memberikan ciuman untuk Ho Rang.
“Menurut Gary Becker,  seorang pakar sosiolog..., orang menikah...”


Soo Ji berjalan dengan kacamata hitam berjalan sambil menelp dengan bahasa inggris, seperti seorang eksekutif muda.
“kalau mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian.”
Sang Goo sudah menunggu di dalam mobil. Soo Ji dengan senang hati masuk ke dalam mobil. Sang Goo dengan wajah bahagia menyuruh Soo Ji untuk Pasang sabuk pengamannya dan memuji penampilan pacarnya. Soo Ji tersenyum memakai sabuk pengaman dan mengajak untuk segera berangkat. 

Soo Ji bertanya apakah Sang Goo akan ikut perjalanan bisnisnya. Sang Goo mengaku ingin memberikan  kejutan dan akan merahasiakannya. Soo Ji memberitahu kalau penerbangan ke Hong Kong jam tiga. Sang Goo berpura-pura kaget kalau Jam berangkatnya juga sama dengan dan ingin tahunomor tempat duduknya.
“Kita ganti tempat duduk saja dengan yang lain biar kita bisa duduk sampingan.” Ucap Sang Goo bersemangat.
“Tentu saja. Aku di depan.  Kursi 2A. Kalau Oppa nomor berapa?” kata Soo Ji
“Kalau kau 2A... Tempat dudukku, dekat dengan sayap pesawat.” Kata Sang Goo. Soo Ji mengartikan kalau Sang Goo tak beli tiket kelas bisnis”
“Tentu saja tidak... Kau itu kan CEO perusahaan yang berpenghasilan 5 M won setahun. Jadi Mana bisa aku bayar tiket kelas bisnis. Aku lagipula lebih suka duduk dekat sayap. Bahkan Aku saja makan sayap ayam kalau lagi makan ayam.” Ucap Sang Goo mencoba melucu.

Keduanya sampai diparkiran, Soo Ji dengan wajah serius mengajak mereka untuk berbagi akomodasi karena boleh pakai akomodasinya untuk perjalanan bisnisnya dan boleh meng-upgrade  tempat duduknya. Sang Goo pikir itu bagus.
“Tapi kau hanya bisa membaginya dengan anggota keluargamu.” Pikir Sang Goo.
“Oh, iya... Kenapa kita tidak menikah saja?” kata Soo Ji blak-blakan. Sang Goo kaget tiba-tiba Soo Ji mengajaknya menikah.
“Kenapa? Apa Tidak mau?” ucap Soo Ji dingin. Sang Goo pikir tak ada alasan menolak karena sangat menginginkanya.
“Tapi kau 'kan selalu menentang pernikahan. Apa agak konyol menikah, dengan berbagi sesuatu seperti misalnya tiket pesawat?” ucap Sang Goo binggung
“Apa kau bilang tiket pesawat?!! Selama bertahun-tahun, aku menabungnya .dengan tidur di bandara untuk  menghemat biaya akomodasi. Apa menurutmu keputusan mudah  membaginya denganmu? Aku memutuskannya karena aku sangat mencintaimu.” Kata Soo Ji meluapkan semuanya.
Sang Goo tak percaya kalau Soo Ji yang sudah berubah, Soo Ji kesal tak ingin membahasnya karena ia tak rugi jadi memutuskan  tidak akan menikah dengan Sang Goo padahal sudah membawa anak mereka. Sang Goo terdiam melihat Soo Ji pergi lalu melihat ada dua boneka dibelakang mobil, ternyata Soo Ji memberikan pasangan pada boneka.
“Sayang!... Mari bersama selamanya!” teriak Sang Goo akhirnya mengejar Soo Ji dan berjalan bersama.
“Di sisi lain, Goethe, seorang penulis, berkata..., "Tidak ada hal yang mendasar, berdasarkan kebahagiaan,  kecuali pernikahan." Dia juga berkata, "Pernikahan merupakan awal dari suatu hubungan."
Ji Ho duduk di meja sibuk mengetik naskahnya dengan serius, Se Hee datang memberikan vitamin dengan menyuapi Ji Ho lalu dengan santai menghabiskan sisa vitaminnya lalu keluar dari kamar. 

Ji Ho keluar dari kamar duduk dikursi pijat, Se Hee datang bertanya apakah sudah selesai. Ji Ho mengatkan belum selesai karena harus begadang lagi. Se Hee bertanya apakah ingin minum bir. Ji Ho setuju dan Se Hee tersenyum dengan mengusap kepala Ji Ho penuh cinta.
“Kami resmi mendaftarkan pernikahan tiga tahun lalu. Dengan pendaftaran..., kami menulis kontrak lagi.” 

Flash back
Ji Ho dan Se Hee duduk di meja makan dengan selembar surat kontrak. Se Hee mengatakan Karena mereka berdua membayar sewanya itu artinya apartemen ini milik mereka bersama lalu bertanya apakah keberatan. Ji Ho dengan penuh semangat mengatakan kalau itu tidak sama sekali.
“Pada hari libur, kami mengunjungi keluarga  masing-masing secara terpisah dan menghabiskan waktu sendiri. Aku tidak suka ini.” Ucap  Se Hee. Ji Ho heran kenapa apakah ada masalah.
“Bukankah menurutmu ini akan terasa sulit?” ucap Se Hee.
“Memang Susah menerapkan aturan ini di budaya Korea. Jadi kurasa orang tua kita pasti tak bisa menerima ini.” Kata Ji Ho
“Tapi Ini bukan hanya akan menghabiskan  waktu bersama mereka. Tahun lalu saja, kau sudah kerja secara tak adil di peringatan keluargaku Dan selama seminggu penuh itu, maka kita saling merasa bersalah. Aku tidak ingin mengalami situasi  canggung itu lagi denganmu. Dan juga, apa pentingnya budaya Korea ? Perasaan kitalah yang lebih penting.” Ucap Se Hee. Ji Ho setuju, menurutnya itu memang pasti bertentangan  dengan perasaan masing-masing dan mulai membahas kontrak yang lain.
“Kami merevisi kontrak setiap tahun. Tapi kondisi yang paling penting  tidak pernah berubah. Cinta kamilah prioritas utama kami.”
Keduanya pun menyepakati kontrak yang mereka buat dalam pernikahan. 


Ji Ho duduk dengan woori di sofa. Se Hee datang dengan membawakan bir dan minum bersama dengan jarak yang cukup jauh. Lalu Se Hee menaruh botol birnya dan langsun berbaring di pakuan Ji Ho.
“Tentu saja, itu bukan hal biasa. Selama liburan pertama kami yang kami habiskan secara terpisah, ibu mertuaku meneleponku sambil menangis Dan ayahku membanting meja.. Tapi yah begitulah.. Tidak ada hal parah yang terjadi.. Hanya saja, orang mengira  kami agak aneh.”
“Untungnya..., itulah yang membuat kami lebih fokus pada kehidupan kami. Entah menikah atau tidak..., Entah kau mendaftarkan pernikahan atau tidak..., Apapun keputusannya, semuanya takkan terjadi separah yang kita kira.” 

Se Hee kembali duduk karena pertandingan akan mulai, lalu keduanya menatap lurus ke TV. Se Hee tiba-tiba mengungkapkan perasaanya. \
“Ji Ho.... Aku mencintaimu.” Ucap Se Hee. Ji Ho terdiam mendengarnya karena akhirnya Se Hee mengeluarkan isi hatinya.
“Yang penting adalah menghabiskan waktu dengan orang  di sampingku tepat pada saat ini apapun yang terjadi.
Ji Ho akhirnya membalas kalau mencintai Se Hee juga lalu mencium lebih dulu pada suaminya.
“Itu sebabnya bahkan sampai hari ini,  kami hanya fokus saling mencintai.” Di TV terlihat drama [THIS LIFE IS OUR FIRST] 

Ji Ho dkk berjalan melihat bus yang datang dan mengejarnya, Won Seok terlihat mengendong seorang anak.
“Dan juga.. Bagi mereka yang hidup saat ini..., dari dalam lubuk hatiku..., aku mendoakan keberhasilanmu. Karena lagipula hidup ini hidup pertama bagi semua orang.”
Ji Ho dkk duduk dibagian kursi bus paling belakang, terlihat bahagia menjalani hidup yang pertama kali dijalaninya.
THE END

PS; yang udah baca blog/ tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09  & Twitter @dyahdeedee09  jadi biar makin semangat nulisnya. Makasih. 

FACEBOOK : Dyah Deedee  TWITTER @dyahdeedee09 



Sinopsis Because This My First Life Episode 16 Part 1

PS : All images credit and content copyright : TVN
Ji Ho keluar kamar menerima telp dari ibunya, terlihat kaget karena di malam hari.  Orang tua Ji Ho sudah menunggu dirumah sakit dengan wajah gugup melihat Ji Ho akhinya datang. Ji Ho bertanya apakah belum lahir.  Ibunya memberitahu kalau adiknya baru saja masuk jadi mungkin Sebentar lagi lahir anaknya.
“Bayi Ny. Lee Eun Sol sudah lahir.” Ucap Perawat mengendong seorang bayi dari ruangan. Mereka semua menyapa bayi mungil yang lahir keduanya.
“Pasti susah datang ke dunia ini.” Ucap Ibu Ji Ho melihat cucunya adalah laki-laki.
“Ayah, matamu... “ucap Ji Ho melihat ayahnya seperti terharu.
“Apa Kau menangis?” ejek istrinya. Ayah Ji Ho mengelak kalau  menangis dengan menahan air matanya.
Tiba-tiba terdengar suara isakan tangis dari belakang, ternyata Adik Ji Ho menangis sambil berjongkok, seperti tak percaya kalau memiliki anak dari istrinya. 


Ji Ho dan ibunya melihat si bayi depan jendela. Ji Ho menyadarkan kepala pada ibunya kalau sekarang sudah jadi nenek sekarang. Ibu Ji Ho juga sadar kalau sudah menjadi nenek. Ji Ho pikir  Sungguh hal baik bisa punya anggota keluarga baru.
“Memang hal baik. Inilah hadiah terbesar yang bisa  kau dapatkan dalam hidup.” Kata Ibu Ji Ho bahagia.
“Ibu... Kami akan bercerai. Kami rasa keputusan ini, hadiah yang tak sebanding dengan ini.” Ungkap Ji Ho. Ibu Ji Ho menatap tak percaya. 


Ibu Ji Ho terlihat shock hanya diam saja. Ji Ho heran melihat ibunya tak memberikan komentar.  Ibu Ji Ho pikir ia harus bilang sesuatu, menurutnya Kalau Ji Ho sudah membulatkan tekad, maka tak mana pernah mengubah keputusannya.
“Kau juga pasti bersikukuh dengan keputusan seperti ini dan keputusan itu pun akan menyulitkanmu sesudahnya. Jadi Ibu bisa bilang apa lagi?” ucap Ji Ho
“Ibu....kenapa tidak menceraikan  Ayah saat itu? Waktu itu aku umur 10 tahun. Ibu membawa Ji Seok dan aku ke  rumah Kakek Nenek dan meninggalkan Ayah.” Kata Ji Ho. Ibu Ji Ho tak percaya anaknya masih mengingat hal itu.
“Kau tidak tahu 'kan kalau Ayah dan Ibu... menikah meski orang tua kami sangat menentangnya? Kami ini bagaikan Romeo dan Juliet.” Ucap Ibu Ji Ho. Ji Ho tak percaya dengan cerita orang tuanya.
“Kami sangat dimabuk cinta. Ayahmu dan Ibu berjanji kami akan mati kalau kami tak bisa bersatu. Saat itu, menikah, berat rasanya. Tapi setelah beberapa saat, kami bahkan mempertimbangkan  untuk berpisah.” Cerita Ibu Ji Ho. Ji Ho ingin tahu alasan tak terjadi seperti itu.
“Ibu awalnya berencana menceraikanny tapi aku tiba-tiba  melihat ayahmu yang sedang tertidur. Lalu Ibu tiba-tiba teringat  akan hari pacaran kami. Jika Ibu berpisah dengannya, maka pasti merindukannya  seumur hidup. Dia pasti akan selamanya  bersemayam dalam hatiku dan Ibu pasti sangat merindukannya.” Cerita Ibu Ji Ho tetap mencintai suaminya.
“Pria itu... Begitu Ibu mulai berpikir seperti itu, maka aku putuskan harus tinggal bersamanya... Jadi Ji Ho..  Semua orang hidup dengan cara yang sama dan Tak ada bedanya. Namun menyimpan dengan baik saku bintangmu itu hal terpenting. Itulah yang terpenting.” Pesan Ibu Ji Ho.
Ji Ho binggung apa maksdunya  "Saku bintang". Ibunya menjelaskan Meskipun hidup mereka hampir sama, terkadang ada momen yang berkilauan, jadi Kapan pun itu terjadi, jangan disia-siakan. Ia berpesan agar Ji Ho menyimpan moment itu di  saku bintangnya.
“Dengan begitu, bila keadaan  menjadi berat, atau kau mulai jenuh..., maka kau bisa mengambil satu bintang  dari saku bintang itu..., dan mendapatkan kekuatan  untuk bertahan.” Pesan Ibu Ji Ho. Ji Ho pikir itu sebabnya.
“Aku akan bercerai agar tidak akan  kehilangan bintang itu. Karena aku ingin saku bintangku dipenuhi oleh bintang yang bersinar.” Kata Ji Ho dengan senyuman.
“Kau sudah mulai bicara omong kosong... Hei, kau sebaiknya jangan kasih tahu ayahmu soal perceraianmu. Aku yakin dia akan menggundulimu dan melemparmu  ke ruang bayi yang baru lahir.” Ucap Ibu Ji Ho berdiri dan mulai marah.
“Jadi kapan aku bisa memberitahunya?” tanya Ji Ho binggung. Ibunya pikir tak mungkin tahu.
“Kaulah yang urus sendiri... Dasar bocah...kau bilang  Cerai ?!!!” keluh Ibu Ji Ho berjalan pergi.
“Ini Sungguh sakit. Perkataan indah Ibu isinya kalau keluarga itu hadiah. Tapi rasanya aku malah dimarahi. Pernikahan itu suatu hal yang bersinar.” Gumam Ji Ho hanya bisa menyadarkan kepalanya.
Ia akan melihat adiknya di dalam ruangan, Sang Adik sedang menemani istrinya yang masih tertidur dan memberikan ciuman di dahinya. Ji Ho hanya melihat dari kejauhan seperti bisa tahu kalau adiknya sangat bahagia. 


Ibu Ji Ho melihat suaminya yang lelah duduk diruang tunggu sambil terkantuk dan mengajaknya pulang, tapi Ayah Ji Ho seperti  manja langsung berbaring di pangkuan istrinya. Ibu Ji Ho pun membiarkan suamianya tertidur di pangkuanya.
“Pernikahan itu...suatu hal yang membuatmu mengingat lagi kenanganmu walau kau benci pernikahan.Kami terlalu gampang  memutuskan untuk menikah.”
Ji Ho pulang dengan menaiki bus sambil melamun, lalu melihat surat Kontrak Pernikahan Berjangka Dua Tahun di kamarnya. Saat itu Se Hee datang melihat Ji Ho yang membereskan semua barang dalam tasnya.
“Untuk pertama kalinya...,aku merasa malu karenanya.”
Ji Ho akan pergi dengan membawa tasnya, lalu mengajak Se Hee agar berjabat tangan. Se Hee pun menjabat tangan Ji Ho. Ji Ho berharap Semoga berhasil Untuk mereka berdua Karena ini perceraian pertama. Se Hee menyetujuinya agar Ji Ho juga bisa berhasil.
“Karena hubungan kami bermula dari jabat tangan..., maka kurasa untuk mengakhirinya juga  harus dengan jabat tangan. Bagian pertama dari hubungan kami  memang pernikahan..., tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta.” Gumam Ji Ho naik bus dengan memegang foto pernikahan dengan Se Hee yang saling berjabat tangan. 



 [Episode 16:  Karena ini Kehidupan Pertamaku]
Manager Park berjalan bersama dengan 3 orang anak buahnya, bertemu dengan Sang Goo yang akan naik lift.  Keduanya saling menyapa karena sudah lama ta bertemu. Sang Goo melihat hidung Manager Park yang diberikan plester.
“Aku jatuh waktu mau pulang karena habis minum-minum.” Kata Managar Park. Sang Goo hanya tersenyum seperti tahu itu akibat dari pukulan Soo Ji. Akhirnya keduanya masuk ke dalam lift bersama. 

Manager Park mengetahui Sang Goo yang sudah dapat dana dan mengucapkan selamat. Sang Goo mengucapkan terimakasih, lalu berkomentar kalau tidak lihat Asisten Woo.
“Dia mengundurkan diri.  Apa Kau belum tahu?” Manager Park. Sang Goo seperti baru mengetahuinya.
“Ya. Makanya aku benci kerja sama wanita. Mereka hanya bekerja sampai  mereka menikah. Mereka tidak tahu tanggung jawab untuk menopang keluarga.” Komentar Manager Park mengejek pekerja wanita. 

Keduanya keluar dari gedung. Sang Goo pikir merkea  sudah lama tak bertemu adi mengajak untuk merokok saja. Manager Park setuju menyuruh anak buahnya untuk pergi lebih dulu saja lalu mengeluarkan rokoknya.  Sang Goo  menolak kalau sudah berhenti.
“Aku juga tidak pernah suka merokok  sejak awal.” Akui Sang Goo. Manager Park menganguk mengerti.
“Tetap saja, itu mungkin tidak menguntungkan dalam kehidupan kerjamu. Percakapan dan sebagainya pasti lewat merokok.” Kata Manager Park
“Percakapan dan kerugian seperti apa? Apa Maksudmu aku tidak akan menjadi bagian dari percakapan konyolmu selama waktu merokokmu?” ucap Sang Goo. Manager Park terdiam mendengarnya.
“Aku juga tahu. Kau mungkin merasa seolah dikenali... jika kau bertingkah sok hebat dan membuat lelucon seksual ke orang lain. Tapi bukankah hal seperti itu harusnya  sudah tak dilakukan lagi dari SMP?.. Ahh.. Tidak. Anak SMP zaman sekarang sudah tak begitu lagi karena mereka cukup pintar bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk.” Sindir Sang Goo.
Manager Park binggung tak mengerti maksud ucapan Sang Goo.  Sang Goo melihat seseorang dengan motor gede memberitahu kalau pacarnya sudah datang dan menawarkan manager Park untuk menyapanya. Manager Park kaget ternyata yang ada dibalik helm adalah Soo Ji
“Kau keluar lebih cepat rupanya.” Sapa Soo Ji dengan gayanya.
“Ya... Aku tadi bicara penting  dengan Jin Ho.. Benar, 'kan?” kata Sang Goo berani mengunakan bahasa banmal. Soo Ji pun berani menyapa Manager Park dengan panggilan Jin Ho.
“Hei.. Jin Ho, aku ini  tiga tahun lebih tua darimu. Jaga dirimu. Sampai jumpa lagi.” Kata Sang Goo lalu pergi dengan dibonceng oleh Soo Ji. Manager Park hanya bisa melonggo. 


Soo Ji memilih beberapa bra dalam sebuah toko memastikan kalau yang dipilih bukan bra berkawat. Sang Goo pun menemaninya dengan banyak tas belanja di tanganya. Soo Ji akan mencoba bra pilihan di dalam kamar pas. Sang Goo melihat patung dengan bra macan dan mengajaknya bicara.
“Cuacanya dingin sekali,  kau pasti kedinginan.. Aku Ma Sang Goo. Senang bertemu denganmu... Wahh Kau pasti sering olahraga... Fighting buatmu, ya.” Ucap Sang Goo seperti merasa bosan jadi mengajak bicara patung. 

Sang Goo sangat lelah merasa senang karena sudah selesai penelitian pemasaran dan memuji Soo Ji yang sudah bekerja keras. Soo Ji pikir  masih banyak yang harus dilakukan yaitu harus mempersiapkan website... dan mendiskusikan sampel-nya dengan desainer.
Pintu lift terbuka, Soo Ji masuk membawa semua barang belanjan dari tangan Sang Goo, lalu Sang Goo mengucapkan selamat tinggal. Soo Ji pun memuji Sang Goo yang sudah bekerja keras.
“Dan juga... kau jangan lupa makan.. Freelancer itu harus banyak makan.” Ucap Sang Goo sebelum pintu lift tertutup. Soo Ji menekan kembali pintu lift agar terbuka.
“Oppa... Apa Kau mau makan ramyeon di rumahku?” ucap Soo Ji yang artinya mengajak Sang Goo untuk menginap.
“Aku tidak akan mudah tertipu lagi.” Kata Sang Go. Soo Ji menyakinkan kalau kali ini serius. Sang Goo menjerit bahagia dan langsung masuk ke dalam lift. 

Won Seok berdiri dalam ruangan kamarnya yang sudah kosong, Bibi Pemilik datang memberitahu Tidak ada orang yang datang untuk melihat-lihat kamarnya dan nanti kalau ada orang yang mau menyewa kamar. Won Seok menganguk mengerti.
“Kau kenapa selama beberapa bulan  terakhir ini? Mukamu capek sekali. Pulanglah ke rumah orang tuamu dan makanlah makanan ibumu. Jadi Cepat sembuh, dan kembalilah” pesan Bibi lalu pergi.
Won Seok terdiam akhirnya keluar dari rumah dan duduk disofa luar, seperti sangat terpaksa untuk keluar dari rumahnya. 

Se Hee mengendong Woo Ri dengan tiga orang yang ada dirumahnya. Si Penjual membawa sepasang pria dan wanita menjelaskan Se Hee yang sudah tinggal selama  sekitar tiga tahun dan memuji kalau Rumahnya bersih sekali.
“Ini rumah terbaik dengan dua kamar  yang tersedia sekarang. Kalian bisa menggunakan ruangan ini  untuk menyimpan pakaian kalian atau untuk anak kalian kelak.” Ucap si penjual masuk ke dalam kamar Ji Ho.
“Ruangan ini kelihatan sangat bersih dan Ventilasinya juga bagus.” Komentar sepasang pria dan wanita.
“Tentu saja, tak ada tempat yang seperti ini. Ayo lihat-lihat lagi.” Kata si penjual mengajak keluar.
Si wanita melihat ada sesuatu yang terselip dibawah kasur, lalu segera menaruh diatas kasur karena suaminya sudah memanggil.  Akhirnya Se Hee pun mengantar mereka keluar dari rumah setelah melihat-lihat. 

Se Hee menatap di ruang makan, seperti melihat bayangan Ji Ho yang duduk sambil makan bimbimbap. Lalu ia menatap ke ruang Tv, bisa melihat bayangan Ji Ho yang menonton TV lalu berbicara dengan Kitty kalau clubnya kalah.
Ia juga bisa melihat Ji Ho keluar dari kamar mandi bergegas masuk kamar karena wajahnya jadi kaku sekali. Se Hee pun membuka pintu kamar JI Ho, seperti bisa melihat Ji Ho yang sibuk mengetik dan melakukan sesuatu diatas tempat tidurnya.
Se Hee masuk kamar melihat ada amplop diatas kasur lalu mulai membacanya.
“Untuk Se Hee... Apa hari ini juga kau menonton bola? Apa Kabar si Kucing, baik-baik saja? Sudah berapa lama waktu terlewat sampai akhirnya kau menemukan surat ini? Pasti saat kau masuk ke kamar ini setelah aku pergi.”
“Sebenarnya, aku pernah sekali masuk ke kamarmu. Lalu aku melihat buku puisi kesukaanmu. Dan aku juga tahu kalau CEO Ko pemilik buku itu. Maafkan aku.”
Ji Ho menuliskan surat untuk Se Hee sebelum pergi dari rumah dan sengaja membiarkan agar bisa ditemukan sendiri.
“Se Hee.. Konon, orang Mongolia kalau mereka mati, jenazah mereka tidak dikubur atau dikremasikan. Tapi, jenazah mereka diangkut dengan gerobak dan ditaruh di suatu tempat yang tidak diketahui. Kemudian, orang Mongolia pergi ke tempat itu lagi dan memeriksa jenazahnya.”
“Mereka berkabung jika  mayatnya masih di sana. Tapi kalau tulang putihnya masih ada..., mereka kembali dengan rasa kebahagiaan. Aku juga kalau kembali lagi ke kamar ini setelah pergi..., aku penasaran apa yang akan tersisa dalam hatiku.” 



Won Seok heran melihat Se Hee yang tak suka makan bersama tapi mengajaknya makan. Se Hee mengaku Karena yang libur hari ini hanya mereka berdua.  Won Seok pikir benar juga tapi heran karena Se Hee.  biasanya  tidak suka makan di luar.
“Karena aku tak ingin makan di rumah sendirian.” Akui Se Hee.
“Itu Susah ‘kan, melupakan orang yang sering makan bersamamu?” ucap Won Seok lalu membahas kalau rumah Se Hee yang akan dijual. Se Hee  membenarkan.
“Lalu kau nanti pindah kemana? Apa Kau sudah cari rumah baru?”tanya Won Seok.
“Yah, pasti ada beberapa rumah di luar sana. Asal bukan rumah it, maka aku tidak peduli dengan lokasinya.” Ucap Se Hee. Won Seok menegur Se Hee saat akan makan daging yang belum matang.
“Aku tidak peduli asalkan perutku terisi.” Kata Se Hee tetap makan daging yang belum matang di panggang
“Tapi, Ji Ho berlibur kemana?” tanya Won Seok. 


Flash Back
Keduanya saling berjabat tangan, lalu Se Hee bertanya apakah Ji Ho akan pergi ke tempat yang jauh. Ji Ho menjawab itu Mungkin seperti itu.
“Apa Ji Ho pergi ke  tempat yang jauh?” tanya Won Seok. Se Hee membenarkan.
“Kurasa dia ada di Mongolia.” Kata Se Hee. Won Seok kaget mendengarnya.
“Ji Ho memang tangguh.  Apa Dia benar-benar pergi ke Mongolia?” kata Won Seok. 


Sementara Ji Ho dan Ho Rang sedang ada di sauna sambil membaca komik, keduanya terlihat bahagia. Ji Ho ingin memecahkan telur, Ho Rang menyuruh mengunakan kepalanya saja. Ji Ho tak enak hati, tapi karena Ho Rang memaksa akhirnya memukul telurnya. Ho Rang sempat kesakitan tapi wajahnya terlihat bahagia.
“Sudah lama sekali kita tak menghabiskan waktu bersama seperti ini.” Ucap. Ji Ho. Ho Rang membenarkan.
“Apa tak masalah menghabiskan waktu denganku? Bukankah seharusnya kau liburan? Apa kau tak ingin pergi,  paling tidak ke Jeju?” ucap Ho Rang
“Hei, aku ini besar di dekat laut. Jadi Mana bisa aku liburan ke tempat  yang mirip kampungku.” Ucap Ji Ho
“Benar juga. Liburan tak perlu mewah-mewah dan Liburan seperti ini juga lumayan. Lalu Bagaimana guest house itu? Apa Tak nyaman?” tanya Ho Rang
“Disana Cukup menyenangkan. Aku jadi punya banyak teman  dari berbagai negara. Aku sekamar dengan orang lain, jadi  tidak bisa tidur nyenyak.Tapi Selain itu, aku baik-baik saja.  Aku merasa seperti liburan ke luar negeri.” Cerita Ji Ho merasa kalau sangat menyenangkan.
“Ji Ho... Apa kau ingin tinggal di rumah atap kami  sampai kau dapat tempat tinggal?  Won Seok sudah pindah ke rumah orang tuanya.” Ucap Ho Rang.
Ji Ho pikir itu bagua karena Won seok  bisa makan bersama keluarganya. Ho Rang tahu kalau Kontrak tempat itu juga  masih lama habisnya dan juga tidak terburu-buru untuk mengambil depositnya jadi kalau tak keberatan maka Ji Ho bisa tinggal di rumah atapnya.


Sang Goo melihat sekeliling kamar Soo Ji dengan mencium sarung bantal. Soo Ji sudah siap dengan panci ramyun diatas meja makan dan mengajak pacarnya untuk segera memakanya. Sang Goo duduk di meja makan merasa  beruntungnya aku mencicipi ramyeon  buatan Woo Soo Ji.
“Kurasa keinginanku dalam hidup ini sudah terpenuhi. Terima kasih makanannya.” Kata Sang Goo bangga, tapi wajahnya langsung berubah ketika melihat ramyun yang masih mentah di dalam panci dan berusaha untuk memakanya.
“Apa rasanya Enak?” tanya Soo Ji. Sang Goo mengaku kalau rasanya enak walaupun merasakan mie yang masih mentah. Soo Ji teringat kalau masih menyimpan kimchi di kulkas.
“Kenapa mie ini masih belum matang? Padahal ramyeon 'kan tak susah memasaknya.” Keluh Sang Goo heran.
Soo Ji memberikan sekotak kimchi agar Sang Goo bisa memakan dengan ramyun. Sang Goo berusaha tersenyum sambil makan ramyun yang belum matang dan kimchi.  Soo Ji membahas tentang  Se Hee menjual rumahnya dan ingin tahu kemana akan pindah.
“Aku juga tidak tahu dan sudah lama tak ketemu dia. Dia ambil cuti 20 hari untuk menyelesaikan liburan. Jadi perusahaan kami sekarat karena Se Hee. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.” Ucap Sang Goo.
Soo Ji menganguk mengerti lalu menyuruh Sang Goo agar menghabiskan makanya. Sang Goo mengajak Soo Ji untuk makan juga. Soo Ji menolak menyuruh Sang Goo saja yang menghabiskanya. 

Se Hee mambuk sambil terlentang nonton bola dan mengeluh kalau Sanchez sering sekali mencetak gol. Lalu mengajak bicara Woori ingin tahu apakah memakai  kalung itu sendiri, ata kakaknya si Ji Ho yang mengalungkannya. Woori hanya menjawab sambil mengeong.
“Kenapa kakakmu pergi padahal dia mengalungkannya ke kau? Apa alasannya? Apa Kau tahu alasannya? Apa kau tahu bagaimana perasaannya?” ucap Se Hee yang mengajak bicara kucingnya. 

Ji Ho menonton siaran bola dari ponselnya, salah satu temanya datang menyapa Ji Ho yang menonton bola lagi hari ini. Ji Ho dengan bahasa inggris menajwab kalau kali ini pertandingan penting. Nancy ingin tahu alasan Ji Ho suka sekali menonton bola karena menurutnya agak membosankan
“Kau Membosankan? Tidak seperti itu...  Jadi begini... Menonton saja itu tak penting.” Ucap Ji Ho lalu mulai kebingungan dengan bahasa inggris untuk menjelaskanya.
“Jadi.. Sepak bola bukan soal sekedar menonton saja. Yang penting dengan  siapa kau menontonnya.” Ucap Ji Ho akhirnya mengunakan bahasa korea.
Ia mengingat saat pertama kali bertemu dengan Se Hee menonton di ponsel, bahkan tanpa sadar memukul pundak suaminya saat gol. Keduanya juga menonton di ruang TV dengan wajah tegang saat akan mencetak gol.
“Kau jadi bisa mengingat pertandingannya, tergantung kau menontonnya dengan siapa.” Ucap Ji Ho
“Aku sama sekali tidak mengerti omonganmu.” Komentar Nancy karena Ji Ho mengunakan bahasa korea.
“Inilah hasil mengerikan cara belajar bahasa Inggris di Korea... Coba saja kau tahu bahasa Korea.” Kata Ji Ho
Nancy seperti tak peduli karena memang tak mengerti lalu bertanya apa yang akan dilakukan Ji Ho besok. Ji Ho dengan bahasa inggris menjawab mau buat kue. Nancy heran ingin tahu kue untuk siapa. Ji Ho dengan bahagia kalau itu untuk mantan suaminya lalu bergegas pamit pergi saat melihat Nancy yang melonggo binggung. 


Seorang guru mengajarkan dari depan counter untuk membuat adonan kue dari telur, tepung dan gula dsb.
“Pikirkan orang yang akan  menerima kuenya.  Kue itu bisa menjadi hadiah yang bagus  untuk banyak kesempatan termasuk pengakuan cinta.”ucap sang guru.
Ji Ho pu mulai menghias dengan cream putih, lalu memberikan potongan strawberry, bubuk coklat dan juga sebuah coklat yang dibuat seperti kucing.
“Wah... Cantik sekali!.. Gambar rakunnya bagus sekali.” Ungkap si guru. Ji Ho melirik sinis karena yang dibuatnya itu adalah kucing. 

Se Hee masuk ke kantor tak melihat semua orang dalam ruangan. Ternyata Won Seok dan pegawai lainya sedang bertarung, kalau yang kalah, harus traktir makanan. Keduanya bermain balapan mobil, Won Seok terlihat penuh konsetrasi sampai akhirnya terpaksa kalah. Saat itu video pun disimpan untuk di tonton kembali. Mereka lalu kaget melihat Se Hee ternyata sudah ada didepan pintu dan menyapanya. 

Won Seok memberikan kunci ditangan Se Hee berpikir kalau tempanya  sangat kecil karena nanti tak nyaman. Se Hee pikirhanya butuh tempat untuk  tidur dan makan, jadi Tidak mungkin tidak nyaman dan ia pun tidak akan membawanya  sampai mati.
“Apa mungkin kau dalam waktu  dekat ini, mau mengundurkan diri?” tanya Sang Goo panik mendengar Se Hee seperti kehilangan gairah hidupnya.
“Belum. Jatah cutiku 'kan masih ada. Jadi sebelum itu, aku takkan mengundurkan diri.” Ucap Se Hee. 

Ji Ho masuk rumah Ho Rang dan melihat di dalam sudah ada dalas tidur dan beberapa kotak, ia heran karena Struktur ruangannya tak asing. Ia melihat kotak kardus berpikir Won Seok belum memindahkan semua  barangnya rupanya.
“Apa ini? Kenapa nyaman sekali? Ini seperti tempat tidurku sendiri.” Ucap Ji Ho heran setelah berbaring diatas alas tidur. 

Ho Rang membaca pesan Ji Ho “Ho Rang, aku baru datang ke rumah atapmu. Terima kasih.” Tuan Shin datang dengan membawakan kopi, lalu memberitau sudah periksa kalender dan hari pertama bulan Maret  itu hari Kamis.
“Jadi kita bisa libur beberapa hari dari Senin, Selasa, Rabu, dan Jumat. Kita mungkin punya cukup waktu  pergi ke Bali.” Ucap Tuan Shin penuh semangat.
“Apa Kau mau ke Bali?” tanya Ho Rang. Tuan Shin pikir Sangat cocok bulan madu disana.Ho Rang kaget mendengarnya.
“Ho Rang... Maukah kau pergi ke Bali bersamaku tahun depan?” ucap Tuan Shin. Ho Rang tak percaya kalau Tuan Shin seperti akan melamarnya.

Won Seok membaca pesan yang dikirimkan Se Hee “Won Seok , terima kasih. Aku akan menggunakan ruangannya baik-baik.” Lalu berpikir kalau  pasti sudah selesai pindahan. Bo Mi melihat Won Seok masih di kanto bertanya apakah tak pulang. Won Seok mengatakan kalau sebentar lagi.
“Cuplikan yang direkam tadi apa bisa kau putar?” ucap Bo Mi. Won Seok pun memutar dan menonton kembali dengan Bo Mi.
“Coba Lihat itu... Kau yang ambil start duluan... Tapi di tengah jalan, kau goyah Lalu kau kehilangan langkahmu. Apa kau Bisa dilihat? Kau seharusnya membiarkan  mobil depan melewatimu dan menyalip mobil itu.” Ucap Bo Mi. Won Seok pikir benar juga.
“Bo Mi, kau memang analis data yang hebat.” Puji Won Seok.
“Dua hal yang paling kusukai  cerita dan formula permainan Dan yang kusuka selain itu, cerita formula permainannya.” Kata Bo Mi. Won Seok tak percaya mendengarnya karena ia juga seperti itu.
“Jadi bicara soal itu...” ucap Bo Mi. Won Seok menjawab “Ya”
“Kalau kau ada waktu...,” kata Bo Mi. Won Seok kembali menyahut “Ya”
“Apa kau mau jadi pacarku?” ucap Bo Mi to the point. Won Seok seperti terbiasa langsung menjawab “Ya” lalu tersadar kalau tadi Bo Mi mengajaknya berkencan. 


Se Hee masuk kamar Ho Rang dengan membawa Woo Ri, Woo Ri sudah terlihat nyaman dirumah baru. Sementara Ji Ho datang ke rumah lama Se Hee kaget melihat orang lain yang membuka pintu. Si Pria pun bertanya siapa Ji Ho, tapi Ji Ho balik bertanya siapa pria itu . Si pria memberitahu kalau baru saja pindah dan itu adalah rumahnya. Ji Ho melonggo kaget karena Se Hee sudah pindah. 

Ji Ho naik bus tak percaya kalau Se Hee itu menjual rumahnya, padahal mantan suaminya itu orang perfeksionis. Ia pun bertanya-tanya kenapa Se Hee harus menjualnya dan penasaran ingin tahu keberadaanya. Setelah turun dari bus, Ji Ho mencoba menelp Se Hee tapi ponsel Se Hee tertinggal di rumah.
Se Hee pulang setelah membeli makanan di minimarket.  Ji Ho berjalan pulang bertanya-tanya keberadaan Se Hee karena tak mengangkat telpnya.

Ji Ho akhirnya duduk di depan teras melihat kue yang sudah dibuatnya, karena rencananya  hari ini, ingin memulainya lagi dengan Se Hee dan menuliskan dibagian kue kalau ini hari pertama mereka.
“Padahal hari ini, aku mau melamar dia... Tapi Sepertinya kesempatanku sudah hilang.” Ucap Ji Ho lalu seperti bicara pada Woo Ri kalau Se Hee yang  mengangkat karena ingin tahu keberadaan mantan suaminya. 

“Aku ingin meninggalkan kamar itu... dan mengelilingi Seoul selama berbulan-bulan untuk mengetahui apa yang tersisa dalam hatiku.”
Ji Ho teringat saat melihat note yang dituliskan Jung Min untuk Se Hee. Lalu Se Hee yang mengajaknya untuk tidur bersama, tapi Ji Ho terbakar cemburu memilih untuk menolak.
“Jujur, terkadang aku sangat membencinya.”
Ji Ho sambil menangis mengatakan Pernikahan berdasarkan cinta pasti membahagiakan
“Aku juga telah banyak terluka. Apa kita memiliki saku bintang kita sendiri yang bisa menyatukan  kita bersama sepanjang malam?”
Ji Ho memutuskan kalau Kontrak mereka yang harus diakhiri.
“Apa adakah satu  saku bintang untuk kita? Aku penasaran. Sebenarnya, aku meragukannya. Tapi saat aku menoleh ke belakang..., apa yang tersisa di hatiku bukanlah kebencian atau rasa sakit.”
Ji Ho melihat catatan di notenya [Perkataan yang Se hee ucapkan.] wajahnya tersenyum bahagia melihat foto nasi goreng buatan Se Hee. 
“Melainkan kerinduan... Betapa aku merindukannya.”
“Saku bintangku sudah penuh. Tapi dimana dia sebenarnya?” ucap Ji Ho yang lelah akhirnya membaringkan tubuhnya.Soo Ji menelp Ji Ho bertanya apakah pindah ke rumah atap dan mungki saja bertemu dia. Ji Ho langsung terbangun dan menoleh ke dalam ruamh seperti tak sadar kalau Se Hee ada di dalam rumah.

Bersambung ke part 2 

PS; yang udah baca blog/ tulisan aku.. Tolong minta follow account IG aku yah dyahdeedee09  & Twitter @dyahdeedee09  jadi biar makin semangat nulisnya. Makasih. ^_^

FACEBOOK : Dyah Deedee  TWITTER @dyahdeedee09