Michael mengusap keringat di dahinya, mengatur tumpukan kotak sabun organik yang mereka buat. Di sebelahnya, Jennie sedang menata lilin aromaterapi dengan ketelitian seorang seniman, sementara Rose mengecek daftar harga di tabletnya. Selena, sang bendahara, duduk di kursi lipat, matanya tajam mengawasi modal awal yang tertera di buku catatannya.
“Oke, rekap terakhir,” kata Michael, menepuk tangannya. “Sabun kita sudah laku setengahnya, lilin Jennie hampir habis, dan donat gourmet Rose—seperti biasa—laris manis.”
Jennie tersenyum tipis. “Ini berkat pembagian tugas yang jelas. Michael fokus produksi sabun, aku bikin lilin, Rose urusan makanan, dan Selena jagonya manajemen keuangan dan marketing.”
Tiba-tiba, bayangan besar jatuh menutupi meja mereka. Mereka berempat mendongak, dan di sana, berdiri Queen.
Namanya sesuai dengan sikapnya: dramatis, menuntut perhatian, dan selalu yakin dirinya adalah pusat alam semesta.
Queen memegang tas desainer kecil di tangannya dan mengenakan kacamata hitam yang terkesan terlalu mewah untuk sebuah bazar kampus.
“Darlings,” sapa Queen dengan nada yang sedikit mendayu, melepas kacamata hitamnya dengan gerakan lambat. “Aku datang untuk membantu kalian. Tim kalian ini sangat potensial, tapi kurang pizzazz. Kalian butuh sentuhan glamor, sentuhan Queen.”
Selena, yang paling pragmatis, mengangkat alis. “Queen, kami senang kamu mampir, tapi kami sudah punya tim yang solid. Semua sudah terbagi rata.”
“Ya ampun, Selena,” Queen mendesah seolah baru saja mendengar berita paling memilukan. “Aku bisa melakukan apa saja. Aku bisa jadi brand ambassador! Aku bisa jadi kasir, aku pandai menghitung, lho. Atau bahkan, aku bisa jadi fashion consultant stan kalian. Lihat, Michael, warna apron kalian ini… sangat membosankan.”
Rose, yang biasanya paling sabar, menyela, “Queen, kami menghargai niat baikmu, sungguh. Tapi kami sudah bekerja sama selama sebulan penuh untuk menyusun ini. Semua resep dan formula sudah kami rahasiakan. Memasukkan orang baru sekarang hanya akan mengacaukan ritme kami.”
Wajah Queen perlahan berubah. Ia memajukan bibirnya dan matanya mulai berkaca-kaca. Ekspresi yang ia kenakan jelas-jelas ditujukan untuk menarik simpati orang-orang di sekitar stan mereka.
“Jadi… kalian menolakku?” tanya Queen, suaranya bergetar. “Kalian tidak mau aku bergabung? Padahal aku sudah menawarkan waktu dan skillku yang berharga, bahkan aku rela membatalkan janji manicure-ku demi ini.”
Michael mencoba meredakan suasana, “Bukan menolak, Queen. Hanya saja—”
“Tidak, aku mengerti!” potong Queen, menutup telinganya dengan kedua tangan. “Kalian tidak menghargai kontribusiku! Kalian ingin aku menjauh!”
Queen berbalik dengan sangat dramatis, memutar tumitnya, dan berjalan menjauh dengan langkah kaki yang dibuat-buat seolah sedang terpincang-pincang karena patah hati. Ia bahkan sempat menabrak tumpukan flyer di stan sebelah, yang hanya menambah tingkat dramanya.
Keesokan harinya, bazar selesai dengan sukses besar. Tim Michael, Jennie, Rose, dan Selena merayakan dengan makan malam sederhana.
Namun, kabar miring mulai beredar di seluruh kampus. Di kantin, di ruang kelas, bahkan di media sosial, Queen mulai melancarkan kampanyenya.
Queen (berbicara kepada sekelompok mahasiswi): “…Dan bayangkan, mereka bilang aku tidak cukup baik! Michael bilang sabunku terlalu wangi, Jennie bilang aku terlalu sering tersenyum, dan Selena—oh, Selena—dia bahkan menuduhku akan mencuri uang kas mereka! Aku hanya ingin berkontribusi, dan mereka menjadikanku korban bullying.”
Postingan Instagram Queen (dengan foto dirinya terlihat sedih): “When you offer your help and talent, but toxic people push you out. Remember to shine anyway, darlings. Some people just hate to see a Queen rise. #BazaarBully #Betrayed #CantStopMySparkle”
Tim bazar terkejut. Mereka tidak pernah menuduh Queen mencuri atau mem-bullynya. Mereka hanya menolak permintaannya untuk bergabung karena sudah terlalu terlambat.
“Ya Tuhan, dia benar-benar drama,” desah Jennie, membaca komentar di postingan Queen.
“Ini keterlaluan,” kata Rose. “Kita harus mengklarifikasi.”
Michael menggeleng. “Tidak perlu. Semakin kita klarifikasi, semakin besar drama ini. Orang-orang yang benar-benar mengenal kita tahu bagaimana kita bekerja. Queen hanya mencari panggung.”
Selena, yang diam sejak tadi, tersenyum sinis. “Biarkan dia mencari panggung. Kita fokus pada laporan keuangan. Dan setelah semua ini, aku punya ide bisnis baru: lilin anti-drama Jennie.”
Mereka tertawa. Meskipun Queen berhasil menciptakan sedikit kekacauan sosial, empat sahabat itu tahu kebenaran kerja keras mereka. Dan saat hasil bazar diumumkan sebagai yang paling sukses, drama Queen perlahan-lahan meredam, tenggelam di bawah kesuksesan nyata yang diraih oleh kerja sama tim, bukan oleh sensasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar